Jumat, 13 Juni 2008

Moral dulu...baru...

Perdana Menteri Malayasia Abdullah Ahmad Badawi memotong seluruh gaji pejabat tinggi hingga sepuluh persen untuk menyambut kenaikan BBM yang juga menghajar negeri itu.

Pemotongan itu pasti tidak membuat para pejabat itu miskin. Pemotongan itu pasti juga tidak berarti banyak dibandingkan dengan membengkaknya anggaran akibat harga minyak dunia yang menggila. Tetapi jangan lupa, pemotongan itu, amat sangat berarti bagi sebuah gerakan moral. Ini adalah ongkos emphati bagi penderitaan publik.

Kebersamaan itulah yang membuat sebuah bangsa kuat, meskipun mereka sedang digempur derita. Itulah yang membuat Afganistan pernah begitu kuat di hadapan Uni Soviet saat itu. Itulah yang membuat Vietnam menjadi raksasa di hadapan Amerika. Itulah yang membuat Amerika cuma sanggup menjadi raksasa dalam film dengan Rambo sebagai pelipur lara mereka. Itulah yang membuat lagi-lagi, Amerika harus kalah di Irak. Kemenangan negara itu hanya sebatas menggantung Saddam Hussein. Tetapi untuk membuat Irak tenteram, hanya rakyat negeri itu sendiri yang sanggup melakukannya.

Kita kaget pada kebijakan Badawi ini. Kita tersipu-sipu karena dalam berbuat baik, sepertinya kita kalah melulu. Jika pun nanti kita menirunya, peniruan semacam itu sudah tidak dalam lagi maknanya. Peniruan itu bukan lagi terasa sebagai kemuliaan, melainkan sekadar ongkos malu. Apalagi tidak ada jaminan bahwa kita bena-benar akan meniru perbuatan baik itu.

Maka jelas sudah, bahwa nasib seuatu bangsa, memang amat ditentukan oleh mutu perilakunya, terutama perlilaku pemimpinnya. Perilaku pemimpin itulah yang akan membuat kesadaran kolektif bangsanya. Dan bukan main kuatnya peran kesadaran kolektif itu. Jika seluruh rakyat Indonesia bangga kepada kualitas moral pemimpinnya, maka kebanggaan itulah yang akan memancar ke seluruh perilaku hidup mereka. Di mana-mana wajah pemimpin itu akan membayang dan menjadi pembimbing. Jika negara sedang susah, mereka akan menjadi tabah, karena pemimpin mereka juga sedang memperagakan kesusahan yang sama. Jika hendak berbuat kerusakan mereka malu karena akan membuat pemimpin yang mereka cintai itu kecewa.

Kesadaran kolektif bangsa Indonesia akan terus menuju ke titik terendah jika tidak segara dibangkitkan oleh karisma kepemimpinan yang memadai. Keadaan boleh krisis, sepanjang tidak ada krisis pemimpin, itulah doa kita. Dan rakyat sungguh-sungguh harus menumpahkan seluruh doanya secara sungguh-suungguh agar para pemimpin itu menjadi jauh lebih bermutu, karena memang cuma doa itulah yang rakyat punya.


Semoga semua mahkluk berbahagia
kaiZen

Tidak ada komentar: